Stop! Hindari 8 Toxic Masculinity ini Saat Mengasuh Anak Laki- laki
Toxic masculinity saat mengasuh anak laki- laki masih sering diterapkan oleh banyak orangtua. Sedari kecil mungkin kita sering mendengar kalimat seperti, “Anak laki- laki kok nangis, sih?”, “Anak laki- laki nggak boleh main boneka”, atau “Anak laki- laki masa’ nggak berani sih? Jangan cengeng kayak anak perempuan.”
Kenyataannya, apa yang kita dengar dari orang- orang di masa kecil lambat laun bisa membentuk karakter diri kita. Dalam pikiran kita, menjadi laki- laki harus seperti itu, harus keras, tidak boleh lembut. Dan tanpa kita sadari, kalimat- kalimat ini juga kita ulangi pada anak laki- laki kita saat menjadi orangtua.
Toxic Masculinity Berdampak Pada Psikologis Anak
Nah, jika Ayah Bunda juga sering melontarkan kalimat- kalimat tersebut, sebenarnya tanpa sadar sudah ikut meneruskan budaya toxic masculinity.
Toxic Masculinity ini merujuk pada adanya tekanan atau tuntutan pada laki- laki tentang cara mereka harus berperilaku atau bersikap dalam budaya patriarki. Dalam Toxic Masculinity, terdapat patokan yang dianggap ‘laki- laki banget’ dan yang ‘nggak laki banget’.
Maskulinitas yang toksik ini pada dasarnya berisi pandangan yang melanggengkan bahwa seorang laki- laki harus agresif, kuat, dominan, bisa memimpin, dan juga emotionless. Dalam toxic masculinity, emosi adalah sisi feminim, kebalikan dari sesuatu yang ‘laki banget’.
Pengasuhan anak laki- laki dengan toxic masculinity akan mempengaruhi aspek psikologis anak. Mereka akan merasa gagal saat belum bisa memenuhi tuntutan ekstrem tersebut. Hal ini tentunya berdampak pada kesehatan mental mereka.
Contoh Toxic Masculinity dalam Mengasuh Anak Laki- laki
Selain berdampak pada kesehatan mental anak, toksik maskulinitas juga mempengaruhi relasi anak dengan pasangannya saat dewasa kelak. Mereka cenderung mempunyai ego yang tinggi, sulit menerima masukan, tidak mau kalah dan dominan terhadap pasangan.
Lantas apa saja contoh toxic masculinity yang harus kita hentikan dalam mendidik anak laki- laki kita sejak sekarang? Antara lain sebagai berikut :
1. “Anak laki- laki itu nggak boleh nangis!”
Apa dasarnya anak laki- laki tidak boleh menangis? Emosi sedih, takut, atau kecewa yang keluar dalam tangisan adalah hal yang sepenuhnya wajar.
Seorang fasilitator psikologi positif terapan dan penulis Welcome to Welcome to Well-Being – Book A: Meet Mo & Ko, Fiona Forman, MSc., mengungkap bahwa melarang anak menangis akan menghambat perkembangan emosional mereka.
Tindakan ini akan membuat anak mengidentifikasi dan mengelola emosi mereka. Jika hal ini terus berlanjut, kesehatan mental anak akan terganggu.
2. “Anak laki- laki kok penakut, sih? Nggak boleh takut! Anak laki- laki harus berani!”
Sama seperti menangis, ketakutan adalah hal yang wajar dimiliki setiap orang. Justru rasa takut dalam konteks positif bisa membuat seseorang menjadi lebih waspada dan berhati- hati.
Joanna Schroeder, penulis feminis, editor, dan kritikus media menyebut bahwa keberanian sering disalahartikan sebagai tidak pernah takut. Ini lah yang kerap terjadi dalam perspektif toksik maskulinitas.
Padahal, sebenarnya menjadi pemberani bukan berarti tidak punya rasa takut. Melainkan kemauan untuk mengambil tantangan penting dalam hidup dengan penuh pertimbangan dan kehati- hatian.
3. “Lho, ketua kelas nya kok perempuan? Masa’ laki- laki dipimpin sama perempuan?”
Jiwa kepemimpinan merupakan anugerah yang tidak semua orang miliki. Tidak semua orang, baik itu laki- laki atau perempuan, mempunyai aspek yang kuat dalam kepemimpinan.
Untuk itu, penting sekali menerapkan pemahaman bahwa bukan anak laki- laki bukan harus mampu menjadi pemimpin, melainkan mampu memimpin. Lho, apa bedanya?
Saat kita mendorong anak laki- laki harus menjadi pemimpin tanpa membuat mereka mampu memimpin, ini justru membuat mereka menjadi orang yang mendominasi.
Jika kebiasaan ini terus berlanjut, anak akan tumbuh merasa harus terus diikuti dan dituruti, bahkan dalam hubungannya dengan pasangan kelak. Anak akan sulit menerima kesetaraan dalam menjalin sebuah hubungan.
4. “Laki- laki nggak usah takut berantem. Ayo, lawan saja!”
Dalam toksik maskulinitas, laki- laki seolah- olah mendapat perspektif sebagai manusia yang harus agresif. Apakah ini baik?
Tentu saja tidak. Anak perlu belajar cara menyelesaikan masalah dengan diplomatis. Anak- anak juga perlu belajar membela diri sendiri dengan cara yang tepat.
Bila berantem di masa kecil terus diwajarkan sebagai sesuatu yang ‘laki banget’, anak- anak akan tumbuh menjadi orang yang berpotensi melakukan tindakan kekerasan saat mereka dewasa nanti.
5. “Jangan mau kalah, dong!”
Anak- anak perlu belajar tentang kekalahan sedini mungkin. Mereka mungkin mengalami kekalahan dan dari itu perlu belajar mengenali kelemahan serta kelebihan lawannya. Dan menanamkan kalimat ini bisa membuat anak berpikir kalau kekalahan bisa merusak maskulinitas laki- laki.
Apa yang terjadi saat anak terus dituntut untuk menang?
Menurut Kenneth Barish, Ph.D., Profesor Psikologi Klinis di Weill Medical College, Cornell University, hal ini bisa membuat anak menganggap kemenangan adalah segalanya. Mereka akan melakukan segalanya demi menang, bahkan dengan cara yang tidak benar.
“Mereka berikutnya juga bisa jadi terlibat dalam ekspresi kemenangan seperti membanggakan atau menyombongkan diri serta mengejek yang lain,” ungkapnya.
Lebih lanjut lagi, ini bisa membuat anak yang kalah sering merasa frustasi, cemas dan kecewa. Tentu saja ini bisa berdampak buruk untuk kesehatan mental mereka.
6. “Anak laki-laki, kok, nggak bisa olahraga!”
Banyak masyarakat kita yang berpikir bahwa pria sejati harus jago olahraga. Well, tidak harus kok, Ayah Bunda.
Masih ingat kan kalau setiap anak mempunyai bakat dan minat masing- masing?
Dan ini tidak terikat pada keterbatasan gender. Memaksakan anak yang berminat di bidang sains dan teknologi untuk hanya menyukai olahraga saja sama artinya dengan mengurung singa dalam kandang.
Hal ini akan membuat mereka tidak mengenal diri mereka sendiri dan tidak bisa mengoptimalkan kemampuannya.
7. “Laki-laki, kok, sakit, sih!”
Kenyataannya, rasa sakit tidak pernah memandang jenis gender. Toxic masculinity sering menyebut sakit adalah sesuatu yang tidak macho untuk anak laki- laki. Padahal ini sangat manusiawi.
Pandangan toksik ini bisa membuat anak laki- laki kurang peduli dan perhatian terhadap tubuhnya sendiri. Mereka seolah- olah harus terus berolahraga dan bekerja keras saat terluka dan terus beraktivitas saat sakit. Hal ini justru berbahaya untuk fisik mereka.
Sebuah penelitian yang terbit dalam Journal of Health and Social Behavior mengungkap bahwa hanya setengah dari kelompok laki- laki yang memegang teguh maskulinitas yang mendapat perawatan kesehatan.
8. “Lhoo… kok laki- laki baperan amat. Kayak perempuan saja!”
Kalimat ini juga sering muncul dalam pola asuh toxic masculinity. Laki- laki seolah haram untuk menunjukkan perasaannya. Laki- laki harus kuat, tabah, dan tidak menampilkan emosional yang destruktif.
Menurut survey oleh National Suicide Research Foundation pada 2016, angka bunuh diri di Irlandia menjadi empat kali lebih tinggi daripada perempuan di sana, dengan dominasi oleh 20-24 tahun.
Laki- laki menjadi lebih rentan stres karena mereka kesulitan untuk mengekspresikan perasaannya. Akibatnya, perasaan terpendam ini membuat mereka menjadi lebih tertekan dalam menjalani hidupnya.
Follow untuk Mendapat Tips Parenting Gratis :
Ikuti Ikuti Ikuti