Parent Perlu Tahu, 37 Kebiasaan Orangtua yang Menghasilkan Perilaku Buruk pada Anak
Banyak yang percaya bahwa kebiasaan orangtua punya peranan penting dalam menghasilkan perilaku buruk pada anak. Suka atau tidak, kenyataannya anak memang paling mudah terpengaruh oleh perilaku orang- orang di sekitarnya.
Sekarang mari kita bercermin bersama- sama…
Apakah Ayah Ibu kesulitan mengendalikan perilaku anak di rumah? Atau Ayah dan Ibu sering tidak sepaham dalam mendidik anak- anak? Apakah anak sering merengek dan memaksa saat keinginannya tidak dituruti? Apa anak- anak sering bertengkar satu sama lain?
Kebiasaan Orangtua yang Membentuk Perilaku Buruk Anak
Jika pertanyaan- pertanyaan di atas banyak terjawab dengan jawaban Ya, maka ada baiknya Ayah Ibu di rumah membaca deretan tips berikut ini. Tips ini adalah ringkasan dari buku parenting Ayah Edy tentang kebiasaan orangtua yang kerap membentuk perilaku buruk pada anak.
1. Raja yang Tak Pernah Salah
Saat anak kita masih kecil dan belajar berjalan, tidak jarang kita tanpa sengaja menabrak kursi atau meja. Mereka pun menangis.
Kebanyakan orangtua jaman dulu akan melakukan cara umum untuk membuat tangisan anak berhenti. Yaitu dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil memukul kursi atau meja, Ayah Ibu sang anak kemudian berkata, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah Mama pukul meja nya… sudah… cup… cup… diam ya…”
Dan sang anak pun terdiam.
Saat proses pemukulan terhadap benda yang mereka tabrak ini terjadi, tanpa sadar orangtua telah mengajarkan anak bahwa mereka tidak pernah bersalah. Anak- anak belajar untuk menyalahkan setiap kali mereka tertimpa masalah.
Pemikiran bisa terus terbawa sampai mereka dewasa nanti. Akibatnya, saat ia mengalami suatu hal dan terjadi kesalahan, maka yang salah adalah orang lain dan dirinya selalu benar.
Sebagai orangtua, kita mungkin baru menyadari ini saat sang anak sudah tumbuh dewasa dan melawan kita. Perilaku melawan bisa terbangun sejak kecil karena orangtua telah mengajarkan untuk tidak pernah bersalah.
Lantas, apa yang sebaiknya kita lakukan saat anak berjalan menabrak sesuatu dan membuatnya menangis?
Yang kita lakukan sebaiknya adalah mengajarinya untuk memahami situasi yang terjadi. Alih- alih menyalahkan benda diam, sebagai orangtua kita bisa berkata, “Sayang kakinya sakit ya karena terjatuh? Lain kali adek lebih hati- hati yam jalannya pelan- pelan saja agar tidak terbentur lagi.”
2. Kebohongan Kecil
Awalnya anak- anak akan selalu mendengarkan kita karena rasa percaya penuh pada orangtuanya. Namun, saat mereka beranjak dewasa, ada kemungkinan mereka tidak lagi menuruti perkataan atau permintaan kita. Mengapa?
Salah satu penyebabnya adalah deretan kebohongan kecil yang pernah orangtua lakukan kepada anak- anaknya.
Misalnya saja, orangtua kerap berbohong pada anak untuk menghindari keinginan mereka. Misalnya saat kita buru- buru akan bekerja di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak bermain.
Kemudian apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskan kepada anak- anak kita dengan kalimat yang jujur? Atau memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain agar bisa buru- buru pergi?
Bahkan, ada juga orangtua yang dengan ekstrim berkata, “Mama hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaaarrr saja..” Tidak jarang, orangtua pulang malam setelahnya.
Contoh lainnya saat sedang menyuapi anak. Di saat anak sedang GTM (Gerakan Tutup Mulut), beberapa ibu membujuk dengan cara membohongi anak, “Kalau maem nya susah, nanti Mama nggak ajak jalan- jalan ke kebun binatang lho…”
Sekilas, deretan kebohongan di atas terlihat seperti kebohongan ringan atau “bohong kecil”. Meski begitu, kebohongan itu bisa berdampak besar. Anak bisa tidak percaya lagi pada orangtuanya atau bahkan bisa trauma.
Anak akan kesulitan membedakan mana pernyataan yang bisa dipercaya atau tidak. Lebih lanjut, anak bisa krisis kepercayaan dan tidak lagi menuruti nasehat orangtua.
Apa yang sebaiknya orangtua lakukan?
Cobalah untuk terbiasa jujur dengan anak. Beri mereka pengertian terhadap situasi yang Ayah Ibu alami secara perlahan.
Misalnya saja, “Ayah harus ke kantor dulu ya, Sayang. Adek belum bisa ikut karena Ayah di kantor bekerja. Tapi Ayah janji, kalau nanti kita jalan- jalan ke kebun binatang, adek bisa ikut.”
Kadang memang tidak mudah untuk memberikan pengertian kepada anak. Untuk itu, Ayah Ibu bisa menyiasatinya dengan bersiap- siap lebih awal untuk ke kantor. Dengan begitu, ada waktu untuk berpamitan pada anak tanpa harus terburu- buru.
Anak memang akan menangis karena ia belum bisa memahami keadaan orangtuanya. Namun dengan bersabar dan memahami mereka, ada waktunya anak mulai mengerti dan terbiasa dengan kebiasaan orangtua bekerja dan anak tidak bisa ikut.
Anak juga akan pahami, jika selain pergi ke kantor, anak bisa ikut bersama orangtuanya.
3. Sering Mengancam Anak
“Jangan berantakin mainannya ya, nanti Mama marah lho..”
“Jangan lompat- lompat terus ya… nanti kalau jatuh mama nggak mau menolong!”
Pernyataan yang bersifat melarang atau perintah tidak harus dilakukan dengan cara berteriak- teriak, apalagi disertai ancaman. Pasalnya, ini bukanlah cara efektif untuk membuat anak mendengarkan orangtua. Sebaliknya, mereka justru takut atau mengabaikan jika sudah terlalu sering.
Selain itu, sebagai peniru ulung, anak akan meniru cara mengancam ini saat ia bermain dengan teman- temannya atau adiknya. Ayah Ibu, tentu saja kita tidak menginginkan perilaku buruk pada anak ini terjadi bukan?
Apa yang sebaiknya orangtua lakukan?
Hindari berteriak- teriak. Dekati sang anak, kemudian hadapkan seluruh tubuh dan perhatian kita kepadanya. Tatap matanya dengan lembut, namun tunjukkan ekspresi tidak senang dengan tindakan yang anak lakukan.
Ekspresi tidak senang ini juga bisa dipertegas dengan kata- kata, “Sayang, bermain itu memang menyenangkan. Tapi jika sudah selesai, nanti kita rapikan lagi mainnya agar besok waktu kita mau main lagi, kita jadi gampang mainnya. Jika kesulitan, nanti boleh minta bantuan Bunda ya…”
Sambil mengarahkan anak untuk melakukan kewajibannya, penting untuk orangtua membangun kesadaran pada anak. Nah, ini bisa orangtua lakukan saat menyampaikannya dengan baik kepada ananda.
4. Bicara yang Tidak Tepat Sasaran
Seringkali orangtua kelepasan, “Papa tuh nggak suka kalau kamu main terus” atau “Mama pokoknya nggak mau kamu berbuat seperti itu lagi!”
Sayangnya, orangtua di satu sisi kerap lupa menjelaskannya secara rinci atau dengan baik alasan di baliknya. Orangtua juga seringkali tidak menggali lebih lanjut dari sisi anak.
Padahal, penting untuk orangtua juga mengetahui dari sisi anak dan mengapa mereka berperilaku seperti itu. Bukan justru selalu menyalahkan anak tanpa mengetahui apa motif mereka.
Hal ini sering membuat anak merasa tidak berharga di mata orangtua mereka dan apapun yang mereka lakukan selalu salah dan dilihat buruknya saja. Tidak jarang, mereka sengaja melakukan hal- hal yang orangtuanya tidak suka agar orang tua semakin kesal, seperti yang ia rasakan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bangun komunikasi yang baik dengan anak. Sampaikan alasan mengapa orangtua tidak menyukai apa yang anak lakukan dan mengapa melakukan hal yang lebih produktif itu penting. Di satu sisi, orangtua juga perlu mendengarkan dari sisi anak.
Ketahui alasan di balik perilaku anak. Tidak jarang, anak sebenarnya punya maksud dan tujuan yang baik. Hanya saja, cara mereka belum tepat dalam mengekspresikan.
Jika akhirnya anak mau mendengarkan dan mengalami perubahan perilaku yang baik, jangan lupa untuk memberikan apresiasi pada mereka. Ucapkan terimakasih yang tulus dan penuh kasih sayang atas upayanya untuk berubah menjadi lebih baik.
5. Menekankan Hal yang Salah Berulang Kali
Hampir sama dengan poin sebelumnya, banyak orangtua sering mengeluhkan tentang anak- anaknya yang tidak akur dan suka bertengkar. Saat anak- anak bertengkar, perhatian kita tertuju pada mereka, untuk mencoba melerai atau memarahi.
Namun, apakah orangtua juga kerapa memperhatikan anak- anak saat mereka sedang bermain dengan akur? Nah, kita sering kurang memperhatikan mereka saat sedang akur dan merasa tidak perlu menyapanya.
Bisa jadi, bertengkar adalah salah satu cara mereka untuk menarik perhatian orangtuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Cobalah memberikan pujian tulus kepada mereka saat sedang asyuk bermain dengan akur. Setiap kali mereka bermain bersama dan bekerjasama, Ayah Ibu bisa bercakap : “Bagus sekali kayak dan adik bekerja sama dan bermain dengan rukun..”
Sebagai bonus untuk anak- anak, berikan mereka pelukan sebagai ungkapan rasa sayang.
6. Merendahkan Diri Sendiri
Apa yang Ayah Ibu lakukan saat melihat anak- anak bermain HP daripada belajar? Mungkin orangtua akan berkata, “Main HP terus…. Sudah jangan main HP terus, nanti dimarahi Ayah.”
Atau ungkapan sejenis, namun dengan membawa figur yang mungkin ditakuti oleh anak- saat itu. Dalam contoh pernyataan ini adalah figur Ayah.
Dalam kalimat tersebut, tanpa sadar kita mengajarkan pada anak- anak bahwa yang bisa menghentikan mereka bermain HP adalah ayahnya. Yang mengindikasikan figur yang hanya ditakuti adalah ayah.
Maka, jangan heran jika anak- anak sering mengabaikan perkataan ibu karena dianggap tidak mampu menghentikan mereka bermain gadget secara berlebihan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Cobalah membuat aturan main sebelum berbicara. Setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan ungkapkan dengan nada serius bahwa kita ingin anak- anak bermain HP sekarang atau berikan pilihan. Misalnya, “Sayang, mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi sekarang atau lima menit lagi?”
Jika anak menjawab lima menit lagi, beri jawaban penegasan, “Baik, kita sepakat lima menit lagi adek mandi ya. Artinya main HP nya tinggal lima menit lagi. Setelah itu HP nya disimpan untuk bermain lagi besok.”
Persis setelah lima menit, dekati sang anak, tatap matanya dan katakan sudah lima menit. Tidak ada kompromi lagi atau tawar menawar untuk segera mandi.
7. Orangtua yang Tidak Kompak
Mendidik anak adalah tugas kedua orangtua, bukan ibu atau bapak saja. Agar pengasuhan berjalan dengan baik, kedua orangtua harus mempunyai kata sepakat dalam mendidik anak- anaknya.
Misalnya saja dalam hal pembatasan menonton TV. Seorang ibu melarang anak menonton TV sambil mengerjakan PR karena membuatnya tidak fokus. Namun, di saat bersamaan, sang ayah justru membela anak dengan dalih tidak apa- apa menonton TV sambil mengerjakan PR agar tidak stress.
Jika hal ini terjadi, anak bisa menilai kalau ibunya terlalu banyak mengatur dan sang ayah adalah sosok pelindung. Anak akan cenderung tidak menuruti nasehat ibu dan berlindung di balik pembelaan ayahnya. Padahal, seringkali sang ibu punya maksud yang baik.
Agar hal seperti ini tidak terjadi, penting untuk orangtua kompak dan satu suara dalam mendidik anak. Jangan sampai terlalu memperlihatkan perbedaan pendapat untuk hal- hal yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak.
Saat salah satu dari pasangan sedang memberi edukasi pada anak, pasangan harus mendukungnya. Dalam contoh di atas tadi misalnya, sang Ayah bisa berkata, “PR nya diselesaikan dulu ya, Kak, agar fokus dan cepat mengerjakannya. Nanti setelah PR selesai dan Mama cek sudah benar, boleh dilanjutkan nonton TV lagi sebentar.”
8. Campur Tangan Pihak Ketiga
Terkadang, saat orangtua sudah kompak, masalah mendidik anak bisa datang karena campur tangan kakek, nenek, tante atau pihak lain. Ya, pihak ketiga ini biasanya muncul dan cenderung membela anak.
Sama seperti kebiasaan no. 7, campur tangan pihak ketiga dalam mendidik anak juga bisa memberikan dampak negatif pada perilaku anak. Anak cenderung berlindung di balik orang yang membelanya dan melawan orangtuanya.
Apa yang sebaiknya orangtua lakukan?
Saat tinggal dengan keluarga besar, orangtua perlu mengkomunikasikan dengan seluruh anggota di rumah tentang cara mendidik anak dan agar tidak ikut campur saat orangtua sedang memberikan nasehat atau anjuran pada anak. Pastikan Ayah Ibu memberikan pengertian kepada anggota keluarga dengan bahasa yang bisa diterima baik oleh mereka semua ya.
9. Menakut- nakuti Anak
Saat anak menangis atau tantrum, tidak jarang orangtua menenangkan atau mendiamkan anak dengan cara menakut- nakuti. Tujuannya adalah agar anak teralihkan perhatiannya dan menghentikan tangisannya.
Contohnya, “Diam ya nangisnya, kalau nggak nanti diculik Pak Polisi..”
Anak mungkin akan diam sekejap. Namun tanpa sadar, orangtua telah menanamkan rasa takut dan benci kepada pihak yang disebutkan tadi.
Untuk mengatasi anak tantrum atau menangis, cobalah untuk memberikan menenangkannya dengan cara mendengarkan keluhannya. Orangtua juga bisa memberikan pelukan hangat sebagai tanda bahwa orangtua memahami perasaan anak.
Beri anak waktu untuk menenangkan diri sampai akhirnya berhenti menangis dengan sendirinya.
10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai
Konsistensi penting dalam pengasuhan dan membentuk kepribadian anak. Konsisten adalah kesesuaian antara ucapan dan tindakan.
Anak mempunyai ingatan yang kuat terhadap sebuah janji. Sehingga mereka akan sangat menghormati orang- orang yang menepati janji, baik untuk memberi hadiah atau memberi sanksi.
Sebagai orangtua, penting untuk tidak mengumbar janji pada anak dengan tujuan merayu agar permintaannya dituruti. Pertimbangkan lebih dulu sebelum berjanji apakah kita benar- benar bisa memenuhi janji tersebut.
Jika ada janji pada anak yang belum terpenuhi, segeralah minta maaf. Berikan alasan jujur mengapa belum memenuhi janji itu dan diskusikan apa yang bisa Ayah Ibu lakukan bersama untuk mengganti janji itu.
11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak
Seringkali orangtua tidak konsisten dengan apa yang ia katakan. Saat ini terjadi, tanpa kita sadari kita juga tengah mengajari anak untuk berperilaku buruk.
Salah satu cerita klasik adalah saat anak tantrum di tempat umum. Anak merengek minta sesuatu. Rengekannya semakin keras diikuti dengan gerak perlawanan. Anak terus mencari akal agar orangtuanya kalah dan menuruti permintaannya.
Tidak jarang, orangtua malu dengan tingkah anak di depan umum ini. Karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak, akhirnya orangtua mengiyakan permintaan anak, “Ya sudah, ambil mainannya satu. Satu saja ya..”
Ini merupakan salah satu contoh hadiah untuk perilaku buruk anak. Karena di kesempatan ini orangtua akhirnya menurutinya, di kesempatan lain ia akan menerapkannya lagi dan mungkin dengan cara yang lebih heboh.
Apa yang orangtua sebaiknya lakukan?
Berhadapan dengan situasi seperti ini, sebaiknya orangtua mencoba konsisten. Tidak perlu malu untuk mendapat label orang tua yang pelit atau tega saat berhadapan dengan situasi ini. Ayah ibu harus tetap tenang, dan jangan terpancing amarah anak.
Ingatlah, konsistensi penting dalam mendidik anak. Apapun alasannya, jangna pernah memberi hadiah pada perilaku buruk anak.
12. Merasa Bersalah Karena Belum Memberikan yang Terbaik
Setiap orangtua mempunyai situasi yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Ada yang bisa menjadi full time mom, ada juga yang banyak menghabiskan waktu di kantor dan jalan raya, daripada bersama anak.
Keterbatasan waktu sering membuat orangtua merasa bersalah atas situasi ini. Akibatnya, orangtua menyetujui perilaku buruk anak dengan dalih, “Nggak apa- apa anak nakal sedikit, mungkin karena Saya juga kurang memberikan banyak waktu untuknya…”
Semakin kita merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita memicu perilaku buruk anak. Semakin kita memaklumi perilaku buruk pada anak, maka perilaku buruk ini akan semakin beragam dan banyak.
Apa yang sebaiknya orangtua lakukan?
Ayah Ibu, percayalah, apapun yang bisa kita berikan secara benar pada anak, itu adalah hal yang terbaik. Kita tidak perlu membandingkan keadaan sosial ekonomi dan waktu kita dengan orang lain. Setiap keluarga pasti mempunyai masalah unik.
Ada yang mempunyai kelebihan finansial, tapi minim waktu bersama dengan anak. Ada yang punya banyak waktu dengan anak, tapi tidak bisa memberikan dukungan penuh pada biaya sekolah anak.
Jadi, jangan pernah memaklumi hal yang tidak baik. Lakukan pendekatan berkualitas jika kita memang hanya punya sedikit waktu. Gunakan waktu kita yang sedikit itu untuk berbagi banyak kasih sayang dengan sisa- sia tenaga kita. Tidak mudah, namun anak- anak pasti akan memahami bahwa yang kita lakukan semuanya adalah demi keluarga.
13. Mudah Menyerah dan Pasrah
Setiap manusia memang mempunyai watak yang berbeda- beda. Ada yang lebih lembut, ada juga yang keras.
Dominan flegmatis adalah ciri watak dari sebagian orangtua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah, pasrah dan cenderung mengalah. Konflik ini kerap terjadi bila seorang plegmatis mempunyai anak yang berwatak keras.
Saat sebagai orangtua kita tidak tegas dan mudah menyerah, anak justru menjadi keras dan lebih tegas. Akibatnya, dalam banyak hal, anak menjadi lebih dominan dan mengatur orangtuanya. Lebih lanjut, orangtua menjadi sulit mengendalikan perilaku anak dan cenderung pasrah.
Kalimat yang sering terlontar dari orangtua tipe ini misalnya, “Duhh anak Saya memang keras.. Saya sudah nggak sanggup lagi mengaturnya.” Atau, “Biar saja deh maunya apa, Saya sudah nggak sanggup lagi mendidiknya.”
Bagaimana orangtua sebaiknya bersikap?
Penting untuk orangtua belajar tegas dalam bertindak dan mengambil keputusan. Tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Jika perlu, berkonsultasilah pada orang yang kita anggap tegas untuk menjadi penasehat harian kita.
14. Marah Secara Berlebihan
Beberapa orangtua kerap menyamakan antara mendidik anak dan memarahinya. Namun perlu diingat, kalau memarahi adalah salah satu cara yang buruk dalam mendidik anak.
Saat kita memarahi anak- anak, kita tidak sedang mendidik mereka. Melainkan kita sedang melampiaskan tumpukan kekesalan kita karena tidak bisa mengatasi masalah dengan baik. Marah juga seringkali berupa upaya untuk melempar kesalahan pada pihak lain, yang biasanya lebih lemah (dalam hal ini anak- anak kita)
Selain itu, saat sedang marah dan emosi, kita sering berbicara kata- kata yang kelak kita sesali. Biasanya saat menyesal, kita berupaya memperbaikinya dengan memberi dispensasi atau membolehkan hal yang sebelumnya kita larang.
Bila ini terjadi berulang kali, anak kita akan berusaha memancing amarah kita agar terjadi pola serupa. Bukannya membuat anak berperilaku lebih baik, yang terjadi justru sebaliknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika Ayah atau Ibu sedang marah atau kesal, sebaiknya tahan dulu untuk bicara. Cobalah menenangkan hati lebih dulu dengan melakukan kegiatan lain atau menghindar, sampai amarah mereda.
Dalam menegur anak, yang terpenting adalah bicara “tegas”, bukan bicara “keras”. Bicara tegas bisa Ayah Ibu lakukan dengan bicara pada nada datar, dengan serius dan menatap wajah serta matanya dalam dalam.
Bicara tegas berarti bicara saat pikiran kita sedang rasional. Sedangkan bicara keras adalah saat pikiran kita dikuasai amarah dan emosi. Ada perbedaan signifikan dari keduanya.
15. Gengsi untuk Menyapa
Kita pasti pernah berada di situasi dimana kita sudah terlanjur marah besar pada anak dan terbawa amarahnya sampai lebih dari sehari. Akibat rasa kesal yang tersisa dan rasa gengsi, kita jadi enggan menyapa anak. Masing- masng pihak menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal.
Apa yang perlu kita lakukan agar hubungan mencair kembali? Siapa yang harus memulai?
Sebagai orangtua, kita yang seharusnya memulai saat anak memperlihatkan tanda- tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita. Dengan cara ini, kita menunjukkan pada anak bahwa kita tidak suka pada sikap anak sebelumnya, bukan pada pribadinya.
16. Memaklumi Tidak Pada Tempatnya
Ini sering terjadi pada banyak orangtua konservatif. Misalnya saat anak laki- laki sering usil, nakal dan bandel, orangtua cenderung mengatakan, “Namanya anak cowok emang agak bandel.”
Atau saat anaknya memukul temannya, orangtua justru menganggap sepele, “Namanya juga anak- anak, maklumin aja lah..”
Jika orangtua sering memaklumi tindakan keliru mereka, anak- anak akan berpikir jika tidak ada yang salah dengan perilakunya. Dan perilaku buruk anak ini bisa terbawa sampai mereka tumbuh dewasa nanti.
Apa yang sebaiknya orangtua lakukan?
Orangtua tidak perlu memaklumi perbuatan anak yang tidak seharusnya. AYah Ibu harus mendidik setiap; anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa dididik dengan tegas (bukan keras) sejak usia 2 tahun.
Semakin dini usianya, semakin mudah untuk dikelola dan diajak bekerja sama. Anak akan mau mendengarkan jika orangtua mengajaknya dialog dari hati ke hati, tegas, dan konsisten. Ayah Ibu tidak perlu menunggu sampai usia mereka beranjak dewasa. Karena semakin bertambah usia, semakin sulit untuk mengubah perilaku buruk.
17. Menggunakan Istilah yang Tidak Jelas Maksudnya
Beberapa orangtua kerap menggunakan pernyataan seperti, “Awas ya, kalau nanti Mama Papa ajak, nggak boleh nakal!” Atau “Kalau Mama ajak, jangan bikin malu dan jangan macam- macam ya..”
Tanpa kita sadari, seringkali kita menggunakan istilah yang anak sulit pahami atau bermakna ganda. Istilah ini akan membingungkan anak. Dalam benaknya, mereka akan bertanya- tanya, tingkahnya yang mana yang termasuk kategori nakal atau membuat malu orangtua? Ia juga akan bingung apa yang orangtuanya maksud dengan “jangan macam- macam”.
Apa yang orangtua sebaiknya lakukan?
Bicarakanlah dengan jelas dan spesifik. Contohnya, “Sayang, nanti kalau ikut Mama, tidak boleh berteriak- teriak lagi di kasir seperti kemarin ya..” Atau, “Adek kalau ikut Mama ke minimarket, nanti boleh beli jajannya satu saja ya..”
Dengan informasi yang jelas dan mudah anak pahami, anak akan mengetahui batasan- batasan apa saja yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan. Ayah ibu juga bisa membuat kesepakatan tentang konsekuensi apa yang diterapkan bila kesepakatan dilanggar.
18. Berharap Terjadi Perubahan Instan
Kita mungkin terbiasa hidup dengan budaya serba instan. Mie instan, susu instan, teh instan. Sehingga saat anak berbuat salah, kadang orangtua berharap semua perubahan terjadi secara instan pula.
Misalnya saat kita mengajari anak disiplin tentang jam bangun tidur, merapikan tempat tidur dan urusan mandi, kita ingin anak berubah total dalam waktu sehari. Apakah ini mungkin terjadi?
Kenyataannya, perubahan perilaku pada anak membutuhkan proses. Jika kita memaksakan anak berubah dalam waktu singkat tanpa tahapan- tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak akan sulit memenuhinya. Saat ia gagal memenuhi keinginan orangtua, ada kemungkinan anak frustasi dan tidak yakin bisa melakukannya lagi. Ada kecenderungan ia melakukan perlawananan dengan membuat banyak alasan atau bersikap acuh tak acuh
Bagaimana sebaiknya orangtua bersikap?
Jika kita berharap anak merubah kebiasaannya, berita ia waktu untuk melewati tahapan- tahapan perubahan secara rasional yang bisa ia capai. Hindari target perubahan yang tidak rasional.
Bila mungkin, ajak ia melakukan perubahan dari hal yang paling mudah. Beri dia kesempatan memilih hal yang menurutnya paling mudah untuk diubah. Keberhasilan anak dalam melewati setiap tahapan akan memotivasi anak untuk melakukan perubahan lain yang lebih sulit.
Setiap kali anak berhasil mencapai tahapan perubahan, berikan pujian tulus, tak peduli seberapa kecil dan sederhananya perubahan itu. Hal ini akan menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang anak lakukan. Pusatkan perhatian Ayah Ibu pada proses dan usahanya, bukan hasilnya.
19. Pendengar yang Buruk
Banyak orangtua menjadi pendengar yang buruk untuk anak- anaknya. Apakah benar demikian?
Saat sebuah masalah terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela, langsung menasehati tanpa mau bertanya apa masalahnya, atau asal usul kejadiannya.
Sebagai contoh, anak kita baru pulang sekolah yang seharusnya pulang siang, namun baru pulang di sore hari. Kita tidak mendapat kabar apapun atas keterlambatan sang anak. Sembari khawatir, kita sekaligus merasa kesal.
Saat anak sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan omelan dan pertanyaan. Bahkan saat anak hendak bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya, anak malah marah dan tidak mau bicara pada kita.
Padahal, saat kita berusaha mendengarkan mereka, anak bersikap lebih baik dan tidak mengabaikan kita.
Apa yang sebaiknya orangtua lakukan?
Jika kejadian seperti itu bukan yang Ayah Ibu inginkan, cobalah menjadi pendengar yang baik untuk anak. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan untuk menunjukkan ketertarikan kita terhadap masalah yang ia hadapi.
20. Selalu Menuruti Permintaan Anak
Apakah anak kita adalah anak tunggal? Atau dia anak laki- laki yang ditunggu- tunggu dari beberapa anak perempuan yang menjadi kakaknya? Atau mungkin ananda adalah anak yang sudah bertahun- tahun dinanti kehadirannya?
Fenomena seperti ini seringkali membuat orangtua menjadi teramat sayang pada anaknya. Dan tidak jarang, orangtua terjebak dalam pola asuh yang terlalu memanjakan anak. Apa saja yang anak inginkan, akan dituruti.
Anak kemudian tumbuh bak Raja Kecil yang semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, sehingga menjadi sulit sekali untuk dibendung. Anak kemudian menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi dan tidak bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tidak peduli sesayang apa kita pada anak, jangan pernah menerapkan pola asuh yang terlalu memanjakan mereka. Rasa sayang tidak harus kita tunjukkan dengan menuruti segala kemauannya.
Orangtua yang benar- benar sayang akan mengajarkan pada anak tentang baik dan buruk, benar dan salah, yang boleh dan tidak boleh. Karena jika tidak, anak menjadi pribadi yang punya perilaku buruk, egois dan “semau gue”.
21. Terlalu Banyak Melarang
Kebiasaan buruk ini adalah kebalikan dari nomor 20. Biasanya orangtua yang merupakan kombinasi melankolis dan koleris akan menghasilkan orangtua yang “perfectionist”. Orangtua cenderung ingin menjadikan anak seperti yang dia inginkan secara sempurna. Orangtua biasanya akan menerapkan banyak larangan, tidak boleh begini dan tidak boleh begitu.
Ada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara orangtua. Ia akan melakukan perlawanan. Baik itu perlawananan tersembunyi (jika anak tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika anak tipe ekspresif keras).
Oleh sebab itu, kurangilah sifat perfeksionis kita. Beri anak ruang untuk melakukan banyak hal yang positif dan baik. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar bisa melihat dan memahami sudut pandang orang lain.
Bangunlah situasi saling mempercayai dengan anak. Kurangi larangan yang berlebihan dan minta pertimbangan pada pasangan untuk membuat kesepakatan- kesepakatan dengan batasan yang lebih baik.
22. Terlalu Cepat Membuat Kesimpulan
Terlalu cepat menyimpulkan adalah gejala lanjutan dari orangtua dengan kebiasaan menjadi pendengar yang buruk. Saat kita dengan mudahnya memotong pembicaraan anak saat sedang memberi penjelasan, kita cenderung mudah menentukan kesimpulan akhir yang memojokkan anak.
Padahal, kita belum mencari tahu lebih lanjut. Atau juga, kesimpulan yang kita ambil belum tentu benar. Bahkan seandainya benar pun, cara yang kita lakukan terasa sangat menyakiti hati anak.
Contohnya saat anak terlambat pulang tadi. Saat anak bermaksud memberi penjelasan, kita malah memotong pembicaraan anak dengan kalimat, “Sudah lah… nggak usah banyak alasan.” Atau, “Jangan kebiasaan pulang sekolah ngluyur ya..”
Jika orangtua terus melakukan kebiasaan ini, orangtua akan berpikir kalau orangtua mereka adalah sosok yang sok tahu, menyebalkan dan tidak mau memahami keadaan. Anak akan malas bercerita pada orangtua. Selanjutnya, mereka kelak akan melakukan hal- hal yang orangtuanya kerap tuduhkan padanya itu.
Di tahap itu, anak benar- benar sudah sulit menerima nasehat orangtuanya lagi. Yang terburuk, mereka bahkan akan pergi begitu saja saat kita sedang berbicara padanya. Pernahkah Ayah Ibu mengalami ini?
Apa yang sebaiknya orangtua lakukan?
Jangan pernah memotong pembicaraan atau mengambil kesimpulan terlalu dini. Siapapun, termasuk anak, tidak suka jika pembicaraannya dipotong dan ceritanya disimpulkan oleh orang lain.
Cobalah untuk mendengar, mendengar, dan mendengar. Tunjukkan bahwa orangtua siap melihat situasi dari kacamatanya. Jika anak sudah selesai bercerita, baru orangtua berbicara dan memberikan pendapat. Saat anak sudah selesai, dia akan lebih siap mendengar masukan dari orang tuanya.
23. Mengungkit Kesalahan Masa Lalu
Ada beberaoa orang tua yang kerap mengungkit- ungkit masa lalu, terutama kesalahan yang pernah anak buat. Contohnya saja, “Mama bilang juga apa… Kamu sih nggak pernah mau dengerin mama. Sekarang kejadian kan? Makanya kalau orangtua ngomong didengerin..”
Pada umumnya, orangtua berharap mengungkit kejadian masa lalu akan membuat anak belajar dari masalah. Namun yang terjadi, anak justru sakit hati dan punya kecenderungan untuk mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya orangtua lakukan?
Hindari untuk mengungkit- ungkit masa lalu saat anak melakukan kesalahan yang sama. Saat dia melakukan kesalahan, cobalah untuk merangkulnya. Tunjukkan empati sampai anak mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Beberapa anak tidak langsung mengungkap perasaan bersalahnya pada orangtua, meski begitu ya, mereka sebenarnya merasa bersalah.
Tenangkan hati anak dengan ungkapan seperti, “Tidak apa- apa, sekarang kamu sudah mendapat pelajaran berharga dari masalah ini. Kita ambil hikmahnya untuk lebih baik lagi ya…”
Mendengar nasehat ini akan membuat hati anak lebih tenang. Selanjutnya, ia akan lebih berhati- hati. Ia juga tidak akan ragu minta nasehat pada orangtua karena merasa orang tuanya memberikan umpan yang positif.
24. Suka Membanding- bandingkan
Hal yang paling anak tidak sukai adalah saat orang tuanya membanding- bandingkan ia dengan orang lain. Bahkan dengan saudara sendiri.
Secara psikologis, siapapun tidak suka bila keberadaannya secara fisik atau sifat dibandingkan dengan orang lain. Coba kita tempatkan diri kita sendiri, bagaimana perasaan kita saat dibandingkan dengan orang lain? Tidak nyaman, bukan?
Yang aneh, banyak orangtua tidak sadar melakukan ini pada anaknya. Seperti membandingkan anaknya yang malas dengan tetangga yang rajin. Atau anaknya yang tidak rangking di sekolah dengan tetangga yang beberapa kali juara kelas.
Ungkapan yang sering muncul biasanya, “Coba kamu itu kayak anak Bu Ismah, sekolahnya rajin, ranking terus..”
Membanding- bandingkan seperti ini jelas bukan cara yang ideal untuk melecut semangat anak. Bukannya membuat anak termotivasi, kebiasaan buruk dari orangtua yang suka membanding- bandingkan justru membuat anak merasa iri dengki. Anak juga akan malas mendengarkan nasehat orangtua.
Apa yang sebaiknya orangtua lakukan?
Setiap manusia terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka, penting untuk orangtua untuk membanding- bandingkan satu dan yang lainnya. Alih- alih membandingkan, cobalah untuk membantu apa yang menyulitkan anak dalam konsentrasi dan belajar.
25. Merasa Paling Benar dan Tahu Segalanya
Anak- anak berusia 1-3 secara alami mempunyai sifat egosentris. Artinya, anak akan merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya. Namun yang menarik, sifat ini juga sering terbawa dan banyak dimiliki oleh para orangtua.
Contoh ungkapan dari orangtua yang selalu merasa paling benar misalnya, “Ahhh, kamu itu masih anak bau kencur, tau apa soal hidup.” Atau “Mama itu lebih tahu… maka sudah banyak makan asam garam kehidupan. Kok bisa- bisanya menasehati orangtua.”
Jika kita terus menanam kebiasaan ini, proses komunikasi dengan anak akan mengalami jalan buntu. Meski tujuan orangtua adalah untuk membuat anak- anak mereka hormat, namun anak justru bisa menangkap ini sebagai bentuk kesombongan yang luar biasa. Dan tentu saja, anak menjadi enggan untuk mendengarkan nasehat orang yang sombong.
Apa yang seharusnya orangtua lakukan?
Usia seringkali dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya pengalaman. Pada zaman dulu, mungkin masih banyak orang percaya dengan hal tersebut. Sayangnya, ini tidak relevan dengan perubahan.
Zaman berubah dengan dan perubahan arus informasi juga menjadi sangat cepat. Siapa yang mendapatkan informasi dan mengikuti banyak kegiatan, maka dialah yang akan banyak tahu dan berpengalaman.
Jadi, orangtua sebaiknya terus terupdate dengan ilmu pengetahuan dan hindari menjadi orang yang paling hebat dan paling tahu. Tidak ada salahnya untuk mendengar masukan dari anak.
26. Saling Melempar Tanggung Jawab
Mendidik anak adalah tanggung jawab kedua orangtua. Jika salah satu atau kedua belah pihak kurang bertanggungjawab, pengasuhan akan menjadi timpang dan jauh dari kata berhasil.
Celakanya lagi, saat orangtua mendapatkan perlawanan dari anak- anaknya, mereka justru saling menyalahkan satu sama lain. Bukan fokus mencari solusi untuk memperbaiki kesalahan.
Kalimat yang sering muncul biasanya, “Kamu jadi ibu memang nggak becus mendidik anak. Memang di rumah ngapain aja sih?” Tidak mau kalah, pihak yang satu pun ikut membela diri, “Enak saja nyalah- nyalahin. Kamu sendiri selama ini ngapain aja?”
Jika cara ini terus dipertahankan di keluarga, apakah masalah selesai begitu saja? Bukannya membaik, situasi justru akan semakin runyam. Sang anak akan merasa kalau perilaku buruk nya bukan karena kesalahannya, tapi karena orangtua yang gagal mendidiknya.
Apa yang seharusnya orangtua lakukan?
Berhenti saling menyalahkan! Pengasuhan adalah tanggungjawab Ayah dan Ibu. Ambil tanggungjawab sebagai orangtua secara berimbang. Bekerjasama lah dengan baik.
Jangan menggunakan alasan tidak ada waktu karena semua orangtua sama- sama punya waktu 24 jam sehari. Jadi, cobalah mengaturnya dengan kompak bersama- sama.
27. Kakak Harus Selalu Mengalah
Ini juga salah satu kebiasaan buruk yang harus di akhiri di keluarga. Banyak orangtua membiasakan anak yang lebih tua harus mengalah pada yang lebih muda, tak peduli apapun situasinya. Tak peduli apapun situasinya? Lantas dimana keadilannya?
Kalimat sakti yang sering muncul biasanya, “Kamu gimana sih? Sudah besar kok nggak mau ngalah sama adiknya?”
Padahal, dalam situasi tersebut, bisa jadi sang adik yang terus- terusan mengganggu mainan sang kakak. Apa yang terjadi selanjutnya?
Sang kakak akan cenderung tumbuh menjadi anak yang tidak mempunyai rasa percaya diri. Kedekatan dengan sang adik pun akan berkurang. Perlahan, dia akan mulai melawan ketidakdilan yang dia peroleh dan kayak adik akan semakin sering bertengkar.
Sedangkan sang adik, jika terlalu sering dibela, tanpa melihat masalahnya, akan tumbuh menjadi anak dengan ego yang besar. Ia akan tumbuh menjadi pribadi yang merasa paling benar dan suka memberontak.
Apa yang seharusnya orangtua lakukan?
Sedini mungkin, anak harus diajari untuk memahami nilai yang benar dan salah atas perbuatannya. Tak peduli apakah dia lebih tua atau lebih mudah. Nilai benar atau salah bukan tentang konteks usia. Benar selalu benar dan salah selalu salah, tidak peduli berapa usia pelakunya.
Penting untuk kita bersikap adil saat menjadi orangtua. Ketahui informasi secara lengkap sebelum membuat keputusan. Jelaskan nilai benar dan salah pada setiap anak dan buat aturan main yang jelas dan mudah untuk anak- anak pahami.
28. Memberi Hukuman Fisik
Saat sedang diselimuti emosi, orangtua cenderung sensitif dengan perilaku anak. Ada dorongan untuk berbicara dengan nada suara keras sampai kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.
Kekerasan fisik pada anak bisa memicu anak menjadi pribadi yang agresif dan kejam, suka menyakiti orang lain dan menjadi pembangkang secara destruktif. Suka atau tidakm anak adalah peniru yang ulung. Anak yang sering mendapat pukulan orangtuanya cepat atau lambat akan melakukannya juga pada teman- temannya.
Apa yang sebaiknya orangtua lakukan?
Jangan sekalipun memberikan hukuman fisik pada anak. Baik itu cubitan, tamparan, atau pukulan. Memukul anak sebagai hukuman akan berdampak buruk pada mental dan IQ mereka.
Sebaliknya, cobalah metode dialog dengan anak sebagai pendekatan. Jika cara ini tidak berhasil, cobalah untuk evaluasi diri. Temukan kebiasaan keliru apa yang selama ini telah kita lakukan dan menyebabkan anak berperilaku buruk seperti itu.
29. Menunda atau Membatalkan Hukuman
Banyak orang yang mengetahui bahaya dari merokok. Mulai dari kanker, impotensi sampai gangguan kehamilan dan janin. Namun, mengapa masih banyak orang yang abai dan terus merokok? Salah satunya karena akibat dari rokok itu sama sekali tidak mereka rasakan saat itu juga.
Sama halnya dalam mendidik anak. Saat kita menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi atas perilaku buruk anak, jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau bahkan membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.
Saat telah terjadi kesepakatan antara kita dan anak, maka kesepakatan itu harus sesuai dengan yang telah dibuat. Misalnya saat anak sudah berjanji tidak minta dibelikan permen lagi saat ikut ke minimarket, maka saat anak merengek minta dibelikan, kita harus mengingatkan kesepakatannya kembali.
Namun jika ternyata anak tetap merengek dan ibu membatalkan kesepakatan karena kasihan, maka kesepakatan- kesepakatan selanjutnya akan berakhir sama. Anak akan merasa bahwa kesepakatan itu hanya sekedar “omong doang”.
Bagaimana sebaiknya orangtua bersikap?
Kesepakatan harus sesuai dengan yang telah ditetapkan. Jika sudah membuat kesepakatan dan anak melanggarnya, diskusikan kembali pada anak tentang hukuman lainjutan yang tidak bersifat fisik. Misalnya pengurangan jam bermain atau menonton video games.
30. Jangan Mudah Terpancing Emosi
Tantrum anak dengan cara merengek, menangis dan berguling biasanya bertujuan untuk memancing emosi orangtua agar marah atau malah mengalah. Jika terpancing dengan emosi anak, anak akan merasa menang dan merasa caranya berhasil. Ia akan mengulanginya kembali di kesempatan selanjutnya.
Apa yang sebaiknya orangtua lakukan?
Yang terbaik adalah tetap tenang, tidak bicara dan tidak menanggapi. Bersikaplah seolah- olah tidak peduli dengan ulah anak kita. Saat anak menangis, katakan padanya bahwa tangisannya tidak akan mengubah keputusan Ayah atau Ibunya.
Jika anak tidak menangis tapi tetap berulang, katakan lah kalau kita akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan anak bersikap baik. Setelah mengatakannya, lanjutkan aksi diam. Cukup tatap mata anak saat ia berulah, hingga ia berhenti berulang. Jika proses ini memakan waktu lebih dari 30 menit, orangtua harus tabah untuk melakukannya.
Jangan malu jika orang- orang memperhatikan kita. Dan sebaiknya tidak ada orang lain yang berusaha menolong anak kita yang sedang berulah tadi. Karena sekali saja kita berhasil membuat anak kita mengalah, besar kemungkinan dia tidak akan mengulanginya untuk kedua kalinya.
31. Menghukum Anak Saat Kita Marah
Hal yang perlu kita perhatikan dan selalu ingat adalah jangan memberikan sanksi atau hukuman apapun saat emosi kita sedang berada di puncak. Saat emosi sedang tinggi, apapun yang keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata- kata atau hukuman akan cenderung menyakiti dan menghakimi anak.
Kejadian ini akan terus membekas meski anak telah beranjak dewasa. Tidak jarang, ia akan dendam pada orangtuanya karena sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan.
Apa yang sebaiknya orangtua lakukan?
Saat sedang marah, sebaiknya kita menghindar dari anak. Pilih cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
Saat marah, orangtua cenderung memberikan hukuman yang seberat- beratnya pada anak. Dan ini hanya akan membuat anak- anak tersakiti atau justru melawan dengan lebih kuat. Padahal, tujuan kita memberi sanksi adalah untuk menyadarkan mereka agar memahami perilaku buruknya.
Setelah emosi mereda, baru kita bisa memberikan hukuman yang mendidik dan tepat anak, sesuai dengan kesalahan mereka. Ayah Ibu perlu ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik, bukan menyakiti. Berilah anak sanksi atau hukuman yang bisa mengurangi aktivitas yang mereka sukai, seperti bermain sepeda atau main game.
32. Menggoda atau Mengejek
Orangtua sering menggoda anaknya hanya sekedar untuk iseng. Meski tidak jarang, hal ini justru membuat anak- anak merasa kesal. Dan saat anak- anak meminta agar kita tidak menggodanya, kita malah semakin senang karena berhasil membuatnya kesal. Beberapa orangtua bahkan menganggap ini menggemaskan.
Padahal hal ini justru membangun rasa tidak suka anak pada orangtua dan membuat rasa hormat mereka menjadi berkurang. Salah satu penyebabnya, anak sebenarnya merasa tidak nyaman dengan godaan atau ejekan orangtuanya.
Apa yang orangtua harus lakukan?
Jika ingin bercanda dengan anak, cobalah memilih materi bercanda yang tidak membuatnya kesal, malu atau candaan yang merendahkan dirinya. Atau jika ingin bercanda lucu- lucuan, jika bisa bertingkah kalau kita lah badut yang sedang ditertawakan. Dengan begitu, anak akan tetap hormat saat candaan sudah selesai.
Orangtua perlu menjaga batas- batas dan menghindari bercanda yang bisa membuat anak merasa kesal atau malu. Caranya bagaimana? Perhatikan ekspresi anak. Apakah dia kesal dan meminta kita menghentikannya?
Jika iya, hentikan segera dan jika perlu minta maaf atas candaan yang baru saja terjadi. Katakan bahwa kita tidak bermaksud merendahkan dan berjanji untuk tidak akan mengulanginya lagi.
33. Menyindir
Beberapa orangtua kerap bermain sindiran dengan kata- kata yang pedas saat sedang marah. Seperti berkata, “Tumben jam segini sudah pulang.” Atau “Sering- sering ya pulang telat ke rumah. Memangnya Mama ini satpam yang harus nungguin anaknya pulang?”
Kebiasaan ini tidak akan membuat anak sadar akan perilaku buruknya. Sebaliknya, anak bisa semakin menjadi- jadi dan menjaga jarak dengan orangtua karena menyakiti hatinya. Ia akan enggan untuk berkomunikasi kembali dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Katakanlah secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak menyinggung perasaan atau memojokkannya. Komunikasi yang baik antara orangtua dan anak akan membuat anak nyaman untuk terbuka dengan masalahnya dan memperbaiki perilakunya.
34. Memberikan Label Buruk
Memberi label atau julukan buruk pada anak bisa membuat mereka tumbuh menjadi anak yang rendah diri Selain itu, anak juga akan menjadi benci dengan orang tuanya karena label- label yang disematkan padanya.
Bagaimana cara mengatasinya?
Hindari untuk memberikan label buruk pada anak. Sebaliknya, berikanlah label baik yang memotivasinya menjadi lebih baik. Misalnya saja anak baik, anak hebat atau anak bijaksana. Jika tidak, Ayah Ibu bisa memanggil anak dengan nama kesukaannya saja.
35. Mengumpan Anak yang Rewel
Saat anak rewel, menangis, atau merengek karena meminta sesuatu dengan memaksa, kita biasanya mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Tujuan orangtua biasanya agar anak tidak merengek lagi. Namun seringkali, yang terjadi justru sebaliknya, rengekan anak menjadi sulit terkendali.
Misalnya saat anak menangis karena minta dibelikan mainan, kemudian orangtua berusaha mengalihkan perhatiannya dengan berkata, “Ehhh disana ada mbak yang pakai baju lucu… warna apa itu ya?” Atau, “Kita lihat gambar- gambar yang lucu disana yuk.”
Perlu kita ingat, saat anak sedang fokus pada apa yang ia inginkan, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. ANak pada umumnya tidak ingin dialihkan perhatiannya saat belum ada kesepakatan untuk menyelesaikan apa yang dia inginkan. Ada kecenderungan ia semakin marah saat orangtua berusaha mengalihkan perhatiannya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkomunikasi dengan anak dengan cara menyelesaikan apa yang sedang dibicarakan. Buatlah kesepakatan di tempat jika belum sempat membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa yang orangtua inginkan terhadap permintaan anak tersebut.
Misalnya Ayah Ibu berkata, “Saat ini Mama belum bisa membelikan mainan itu. Kita harus menabung bersama- sama dulu agar bisa membelinya. Nanti akan Mama ajarkan cara menabungnya. Setuju? Sekarang adek mau kita lanjutkan dulu jalan- jalannya atau langsung pulang?”
Jika anak tetap merengek, sebaiknya orangtua segera pulang meski belum selesai untuk urusan belanja. Urusan belanja mash bisa ditunda. Namun jangan sekali- kali menunda dalam urusan mendidik anak.
36. Televisi Menjadi Agen Pendidikan Anak
Tahukah Ayah Ibu, perilaku anak bisa terbentuk kepada hal :
Berdasar siapa yang lebih dulu mengajarkannya padanya : Orangtua atau TV?
- Siapa yang dia percaya : Apakah anak lebih percaya pada kata- kata orangtuanya atau ketepatan waktu program- program TV?
- Mana yang menyampaikannya dengan lebih menyenangkan : Apakah kita menasehatinya dengan cara yang menyenangkan atau malah program- program TV?
- Siapa yang lebih sering menemaninya : Kita atau TV?
Jadi, apa yang harus kita lakukan? Bangun komunikasi dan kedekatan dengan anak dengan evaluasi empat hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
Selain itu, gantilah program- program TV tersebut dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat untuk anak- anak. Ganti program TV dengan film- film pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang. Baik itu dari kartun hingga video permainan edukatif.
37. Mengajarkan Anak untuk Membalas
Sebagian anak punya kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi menjadi obyek penderita dengan lebih banyak menerima pukulan dari teman sebayanya. Sayangnya, orangtua yang tidak sabar melihat anaknya disakiti akan memprovokasi anaknya untuk membalasnya.
Hal ini sama artinya dengan mengajarkan anak balas dendam. Pasalnya, saat itu anak sedang berada dalam emosi yang sensitif dan ajaran itu akan membekas. Jadi jangan kaget jika anak kita nanti akan membalas atau membalikkan apa yang orangtua sampaikan kepadanya.
Lalu, bagaimana sebaiknya orangtua bersikap? Ada tiga tips yang bisa Ayah Bunda terapkan :
- Mengajarkan anak untuk menghindari teman- teman yang suka menyakiti
- Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya
- Ajak orangtua dari anak yang suka memukul untuk ikut program parenting, baik itu melalui seminar, media sosial, atau media lainnya.
Follow untuk Mendapat Tips Parenting Gratis :
Ikuti Ikuti Ikuti